RICKY'S BLOG

Welcome to My Blog

Sabtu, 11 Desember 2010

PHK 04

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan pekerja. Karenanya, selama ini singkatan ini memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.

Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak mereka.

Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pekerja kontrak dan tetap

Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.

Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.
Alasan/sebab PHK

Terdapat bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Selain itu:

* ­ Selesainya PKWT
* ­ Pekerja melakukan kesalahan berat
* ­Pekerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan
* ­ Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
* ­ Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya
* ­ Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
* PHK mMassal - karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.
* ­ Peleburan, penggabungan, perubahan status
* ­Perusahaan pailit
* ­ Pekerja meninggal dunia
* ­ Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
* ­ Pekerja sakit berkepanjangan
* ­ Pekerja memasuki usia pensiun


PHK Sukarela

Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: (i) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (ii) tidak ada ikatan dinas, (iii) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.

Undang-undang melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri. Namun dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga. Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.

Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.


PHK Tidak Sukarela
a. PHK oleh Pengusaha

Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan.

Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).

Undang-Undang tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan:
a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja menikah;
e. pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam PK, PP, atau PKB;
g. pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PK, PP, atau PKB;
h. pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
• Kesalahan Berat (eks Pasal 158)

Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.

Yang termasuk kesalahan berat ialah:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
b. Permohonan PHK oleh Pekerja

Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; (iv) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; (v) memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; (vi) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
c. PHK oleh Hakim

PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.
d. PHK karena Peraturan Perundang-undangan

Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.
Mekanisme PHK

Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
a. pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja meninggal dunia.
e. Pekerja ditahan
f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK

Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.
Perselisihan PHK

Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.

Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
Penyelesaian Perselisihan PHK

Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.

1. Perundingan Bipartit

Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan.

Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.

Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

2. Perundingan Tripartit

Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:

a. Mediasi

Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.

b. Konsiliasi

Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.

c. Arbitrase

Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.

3. Pengadilan Hubungan Industrial

Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.

Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: (i)Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, (ii) perselisihan kepentingan dan (iii) perselisihan antar serikat pekerja.

4. Kasasi (Mahkamah Agung)

Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
Kompensasi PHK

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon

* masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
* masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah;
* masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
* masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
* masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
* masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
* masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
* masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
* masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK

* masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
* masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
* masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
* masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
* masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
* masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
* masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
* masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon

Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon tergantung alasan PHK sebagai berikut:

Alasan PHK Besaran Kompensasi
­ Mengundurkan diri (kemauan sendiri) ­-Berhak atas UPH
­ Tidak lulus masa percobaan ­ -Tidak berhak kompensasi
­ Selesainya PKWT ­ -Tidak Berhak atas Kompensasi
­ Pekerja melakukan kesalahan berat ­- Berhak atas UPH
­ Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan- ­ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha ­- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya- ­ Tergantung kesepakatan
­ Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) ­- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- ­ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja- ­ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja ­- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Perusahaan pailit­ ­- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Pekerja meninggal dunia-­ ­ 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
­ Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut ­- UPH dan Uang pisah
­ Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) ­- 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
­ Pekerja memasuki usia pensiun ­- Sesuai Pasal 167 UU 13/2003
­ Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)- ­ 1 kali UPMK dan UPH
­ Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah ­- 1 kali UPMK dan UPH
Contoh

A yang tinggal di jakarta telah bekerja selama sepuluh tahun di PT B yang juga berdomisili di Jakarta, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja.

Maka, ia berhak atas kompensasi sebesar:
UP = Rp3.000.000,- x 1x9 = 27.000.000, (3 juta Dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah)
UPMK= Rp3.000.000 x1x 4= 12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun
UPH = 15% (uang penggantian perumahan dan pengobatan) x (27 juta +12 juta) =Rp5.850.000,-

Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH
27.000.000+ 12.000.000 + 5.850.000 = 44.850.000,-

PHK 03

PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.

Ketentuan hukum PHK dapat bersifat
perdata, yaitu mengenai pemberitahuan,
tenggang waktu dan saat PHK

Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi
4 kelompok, yaitu:
1. PHK demi hukum ; terjadi tanpa perlu adanya suatu
tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena
berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.
2. PHK oleh pihak pekerja ; terjadi karena keinginan dari
pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu.
3. PHK oleh pihak pengusaha ; terjadi karena keinginan dari
pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur
tertentu.
4. PHK oleh putusan pengadilan ; terjadi karena alasan-alasan
tertentu yang mendesak dan penting, misalnya
terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit.

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua
belas) bulan secara terus‐menerus
Untuk selanjutnya, dijelaskan lebih dalam tentang keadaan sakit
terus‐menerus meliputi :
Sakit menahun atau berkepanjangan sehingga tidak dapat
menjalankan pekerjaannya secara terus‐menerus;
Setelah sakit lama kemudian masuk bekerja kembali tetapi tidak
lebih dari 4 (empat) minggu kemudian sakit kembali.

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya

d. pekerja/buruh menikah

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam
satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota
dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama

TENGGANG WAKTU
Di Indonesia, masalah pengaturan
tenggang waktu pemutusan hubungan
kerja tersebut tertuang dalam pasal
1603i KUHP yang bunyi sebagai berikut:
“ Dalam hal menghentikan hubungan
kerja harus paling sedikit diberikan suatu
tenggang waktu yang lamanya satu
bulan jika hubungan kerja pada waktu
pemberitahuan pemutusan hubungan
kerja itu telah sedikit-dikitnya dua tahun
terus-menerus”

Dalam Pasal 19 Instruksi Menteri
Tenaga Kerja Nomor 2/Instruksi/1967
tentang Larangan Pemberhentian
Tenaga Kerja secara Massal oleh
Perusahaan-perusahaan Negara tanpa
Konsultasi dengan Departemen Tenaga
Kerja, dikatakan bahwa apabila tenaga
kerja akan memutuskan hubungan
kerjanya dengan perusahaan, ia harus
memberi tenggang waktu kepada
perusahaan minimal satu bulan

MAKSUD PEMBERIAN TENGGANG WAKTU
ADALAH :
>> Memberi kesempatan kepada
perusahaan untuk mencari
pegawai pengganti.
>> Memberkesempatan kepada
perusahaan untuk mengadakan
penelitian mengenaikewajiban
dan tanggung jawab yang masih
harus diselesaikan sebelum
pegawai yang bersangkutan
mengundurkan diri.

DEMIKIAN PULA SEBALIKNYA, APABILA
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DILAKUKAN
OLEH PUHAK PERUSAHAAN, SEBAIKNYA
PERUSAHAAN JUGA MEMBERIKAN
TENGGANG WAKTU KEPADA PEGAWAI YANG
BERSANGKUTAN PALING SEDIKIT SATU
BULAN. MAKSUD PEMBERIAN TENGGANG
WAKTU KEPADA PEGAWAI YANG AKAN
DIPUTUSKAN HUBUNGAN KERJANYA
ADALAH :
>> Memberi kesempatan kepada
pegawai yang bersangkutan
untuk mencari pekerjaan di
tempat lain.
>> Member kesempatan kepada
pegawai yang bersangkutan
untuk menyelesaikan segala
macam
urusan/pekerjaan/tanggung
jawabnya

Bentuk PHK 02

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Berakhirnya hubungan kerja bagi buruh dari segala kesengsaraan.
Menurut teori memang buruh berhak pula untuk mengakhiri hubungan kerja, tetapi dalam praktek mejikanlah yang mengakhirinya, sehingga pengakhiran itu selalu merupakan pengakhiran hubungan kerja oleh pihak majikan.

a. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan.

Cara-cara yang dianut pada pemutusan hubungan kerja oleh majikan itu, merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan kerja, karena aturan dan praktek yang dilakukan dalam hal pemberhentian (dismissal) atau penghematan (lay off), mempengaruhi kepentingan vital dari majikan dan buruh.
Adalah dapat dimengerti, karena majikan itu bertanggung jawab atas jalannya baik dan efektif dari perusahaannya, dia itu ingin mempertahankan kekuasaannya, kebebasannya sebanyak-banyaknya untuk mengambil keputusan tentang soal-soal yang mempengaruhi jalannya perusahaan itu. Dia ingin mengelakkan tiap kewajiban untuk menuruti suatu negara cara yang akan merugikan jalan baik perusahaannya. Hal itu tidak hanya mengenai soal rencana produksi, permodalan penjualan dan sebagainya, tetapi juga mengenai jumlah buruh yang dipekerjakan dan soal memilih satu persatu. Berdasarkan alam ekonomis itu, majikan menghendaki kebebasan yang maksimum dalam memperhatikan buruh, jika ia tidak puas dengan pekerjaan buruh itu atau keadaan perusahaannya membenarkan pengurangan buruh. Adalah jelas bahwa jika majikan diharuskan untuk menahan sejumlah buruh yang lebih besar dari seperlunya, dia mungkin tidak lagi mampu untuk mempertahankan keseimbangan keuangan dalam perusahaannya.
Prosedur pemberhentian dan penghematan dengan sendirinya harus dilihat dengan latar belakang ekonomi umumnya dari negara yang bersangkutan. Akibat pengakhiran hubungan kerja adalah sangat berbeda-beda berhubungan dengan adanya cukup lapangan pekerjaan atau pengangguran. Disini tidak akan dipersoalkannya lapangan pekerjaan atau pengangguran. Disini tidak akan mempersoalkan salah buruh kehilangan pekerjaan dan bukan masalah apakah dia akanmendapat atau tidaknya pekerjaan lain.
Soal pemutusan hubungan kerja juga ada hubungannya dengan ketentuan tentang adanya jaminan pendapatan (Income securrity) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.Pendapat umum menghendaki supaya pemutusan hubungan kerja oleh majikan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat menghendaki itu adalah tenggang waktu pernyataan pengakhiran (opzeggingstermijin, perious of notice) dasar-dasar untuk memilih buruh manakah yang akan diberhentikan atau diterima atau dihemat atau cara-cara mendapatkan pertimbangan atau perundingan sebelum pemutusan boleh dilakukan.
Dalam peraturan dapat dimintakan alasan-alasan untuk pemberhentian dan sering kali diadakan larangan pemberhentian dalam hal-hal lain. Kadang-kadang disyaratkan pemberian pesangon (severance allowance), menunjukkan jalan bagi buruh yang diperhentikan itu untuk dapat dipekerjakan kembali dan memberi buruh itu hak-hak untuk membantunya mendapatkan pekerjaan baru.

b. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh.

Buruh dapat juga memngakhiri hubungan kerja itu tanpa pernyataan pengakhiran atau tanpa mengindahkan aturan yang berlaku bagi pernyataan pengakhiran, tetapi buruh yang berbuat demikian tanpa persetujuan pihak majikan, bertindak berlawanan dengan hukum.
Untuk menghidarkan segala akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum itu, buruh harus secepat-cepatnya membayar ganti rugi atau buruh mengakhiri hubungan kerja secara demikian itu dengan alasan mendesak yang seketika itu juga harus diberitahukan kepada pihak majikan.
Ganti rugi adalah sebesar satu bulan itu terjadi dalam keadaan yang sedemikian rupa sehingga kerugian yang diderita tidak dapat dipandang oleh ganti rugi yang diterima itu, pihak majikan dapat menuntut ganti rugi lagi di muka pengadilan negeri.
Alasan mendesak tersebut adalah keadaan yang sedemikianrupa sehingga mengakibatkan bahwa dari pihak buruh adalah tidak layak mengharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan mendesak dapat dipandang antara lain :
1. Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan pihak buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh, atau membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh bawahan majikan.
2. Apabila majikan membujuk atau mencoba membujuk buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau dengan tata susila atau membiarkan pembujukan atau percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh bawahan majikan.
3. Apabila majikan tidak membayar upah pada waktunya.
4. Apabila majikan dimana makan dan pemondokan diperjanjikan, tidak memenuhinya secara layak.
5. Apabila majikan tidak memberi cukup pekerjaan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan.
6. Apabila majikan tidak memberi atau cukup memberi bantuan yang diperjanjikan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan.
7. Apabila majikan dengan jalan lain secara keterlaluan melalaikan kewajiban yang dibebankan padanya oleh perjanjian.
8. Apabila majikan dalam hal sifat hubungan kerja tidak mencakupkannya, menyusun buruh, meskipun telah ditolak, untuk melakukan pekerjaan di perusahaan seorang majikan lain.
9. Apabila terus berlangsungnya hubungan kerja bagi buruh dapat menimbulkan bahaya besar yang mengancam jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baiknya yang tidak terlihat pada waktu pembuatan perjanjian kerja.
10. Apabila buruh karena sakit atau alasan lain diluar kesalahannya, menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang diperjanjikan

c. Hubungan Kerja Putus Demi Hukum.

Hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, putus demi hukum bila waktu yang ditentukan itu lampau. Dengan habisnya waktu berlakunya itu hubungan kerja putus dengan sendirinya artinya tidak disyaratkan adanya pernyataan pengakhiran atau adanya tenggang waktu pengakhiran.
Untuk menjaga agar buruh atau adanya sekonyong-konyong menghadapi kenyataan tidak mempunyai pekerjaan lagi. Ada baiknya dimintakan dari pihak majikan agar sebelumnya dalam waktu yang layak, memberitahukan akan berakhirnya hubungan kerja itu kepada buruh.
Hubungan kerja putus demi hukum bila buruh meninggal dunia, bila watak hanya hubungan kerja atau perjanjian kerja atau perjanjian kerja itu sendiri menghendaki sebaliknya.
Ketentuan bahwa meninggalnya majikan tidak memutuskan hubungan kerja sebenarnya hanya merupakan cetusan dari prinsip yang lebih tinggi, yaitu bahwa pemindahan tanganan suatu perusahaan tidak memutuskan hubungan kerja.

d. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan.

Masing-masing pihak, yaitu pihak majikan dan buruh setiap waktu, juga sebelum pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan permintaan tertulis kepada pengadilan negeri ditempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus.
Dipandang sebagai alasan penting, selain alasan mendesak, adalah juga perubahan keadaan pribadi atau kekayaan dari pemohon atau pihak lainnya atau perubahan dalam hal pekerjaan dilakukan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga adalah layak segera atau dalam waktu pendek di putuskannya hubungan kerja itu.
Pengadilan meluluskan permintaan itu hanya setelah mendengar atau memanggil secara sah pihak lainnya.
Jika pengadilan meluluskan permintaan itu Pengadilan menetapkan saat hubungan kerja itu akan berakhir.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengadilan atas permintaan pihak majikan dengan sendirinya tak memerlukan ijin lagi dari panitia penyelesaian perburuhan.
Demikianlah juga dengan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan untuk kepentingan majikan yang dinyatakan palit dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perwakilan Indonesia di luar Indonesia untuk kepentingan pengusaha kapal.
Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut tidak ada jalan untuk melawannya, dengan tidak mengurangi wewenang Jaksa Agung untuk semata-mata demi kepentingan undang-undang, mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut.